Refleksi TSOM#1

SUMBA PILGRIMAGE


KELOMPOK I

Bernadetta Arceline. W.A.

KA. Semarang

“Bersukacitalah! Maka sesuatu yang tidak Mungkin akan menjadi Mungkin”

Salam misioner teman-teman!

Perkenalkan nama saya Bernadetta Arceline Wijar Ananta, biasa dipanggil Arcel. Saya berasal dari Paroki St. Petrus dan Paulus, Temanggung, Keuskupan Agung Semarang (KAS). Saya lahir di Jakarta, 29 Desember 2004, namun walaupun saya lahir di Jakarta, saya tinggal dan tumbuh di Temanggung. Nah pada kesempatan kali ini, saya akan bercerita tentang pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti kegiatan T-SOM ini, khususnya pada kegiatan “Sumba Pilgrimage” yang dilaksanakan di Paroki St. Matius Palla, Keuskupan Weetebulla, Sumba.

Baiklah, pertama-tama saya ingin membahas tentang judul dari tulisan saya, yaitu “Bersukacitalah! Maka sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi mungkin”. Mengapa saya mengambil tulisan ini sebagai judul saya? Yang pastinya, saya mengambil tulisan atau “quotes” ini, karena quotes inilah yang paling sering saya alami pada saat kegiatan di Sumba ini. Quotes ini begitu melekat pada diri saya.

Jika tadi saya membahas tentang judul, sekarang saya ingin membahas tentang pengalaman-pengalaman yang paling berkesan menurut saya saat saya berada di Sumba ini. Sebenarnya, ada banyak sekali pengalaman-pengalaman baik itu pengalaman menyenangkan, menegangkan, hingga mengharukan yang tentunya membekas pada diri saya dan tak bisa saya lupakan begitu saja.

Pengalaman pertama yang paling mengena menurut saya adalah pada saat saya dikirim ke Stasi Lingu Lango yang merupakan stasi terjauh dari Paroki St. Matius Palla untuk melaksanakan kegiatan “live-in”. Pasti teman-teman sudah tidak asing lagi dengan kata live-in, namun bagi saya kegiatan ini sangat berpengaruh bagi saya, karena baru kali ini saya melaksanakan live-in, dan lagi live-in ini diselenggarakan di luar Pulau Jawa. Ini juga kali pertama saya melaksanakan Natal jauh dari keluarga, namun di stasi Linga Lango ini, saya memiliki bapa dan mama baru, yaitu Bapa Nito dan Mama Tina. Bapa Nito berusia 77 tahun dan mama Tina berusia 63 tahun, mereka dikaruniai 3 orang anak dan ketiganya sudah berkeluarga. Saya bersama teman saya dari keuskupan Agung Palembang (KAPaL) bernama Trudy tinggal bersama Mama Tina dan Bapa Niko di rumah yang orang sebut “Rumah batu” mulai dari 23 Desember 2018 sampai pada tanggal 26 Desember 2018. Selama itu, saya mendapat yang sudah saya sebut tadi, pengalaman yang “mengena”.

Pengalaman itu dimulai pada saat saya disambut di stasi Lingu Lango. Penyambutannya sangat luar biasa, antusias umat sangat luar biasa, apalagi saat mereka menyorakkan “pekikan Sumba” sangat terlihat antusias juga kerinduan mereka akan Tuhan. Saya tidak bisa berbohong jika saya sudah hampir meneteskan air mata saat penyambutan itu, karena saya merasa sangat diterima, juga diharapkan, tidak pada biasanya saya merasa terus berbuat salah dan tidak berguna, namun umat di Stasi Lingu Lango ini berhasil menyadarkan saya. Oh ya, saya diutus ke Stasi Lingu Lango ini dengan beberapa teman, yaitu Evan dari keuskupan Bandung, Amanda dari Keuskupan Agung Makassar, Wahyu dari Keuskupan Agung Palembang, Trudy dari Keuskupan Agung Palembang, Richi dari Keuskupan Weetebula, Kak Egi sebagai pendamping dari Keuskupan Agung Semarang. Kak Vera sebagai pendamping yang berasal dari Keuskupan Weetebula, juga suster Redemta dan Rm. Elis sebagai pendamping rohani. Kami semua siap diutus dalam melayani umat di Lingu Lango.

Tugas kami semua yang pertama adalah membantu mendekor gereja, walaupun kami hanya mendekor dengan sederhana dan seadanya, namun pada saat perayaan Ekaristi umat terlihat sangat antusias dalam menyambut kelahiran Tuhan Yesus. Pada saat mendekor saya juga sempat berdinamika dan berinteraksi dengan anak-anak Sekami di sana dan antusiasnya juga sangat luar biasa.

Setelah perayaan Natal pada tanggal 24 Desember 2018, tidak lupa kami menyampaikan selamat Natal, namun pada kali ini saya mengucapkannya lalu melakukan “Cium Sumba” cium sumba sudah menjadi adat di Sumba, yaitu saling menempelkan hidung.

Hari pun berganti, saya kembali melaksanakan perayaan Ekaristi dan setelahnya saya melaksanakan Natal bersama adik-adik SEKAMI, pada natal bersama itu kami bermain, bernyanyi, belajar, dan juga membagi-bagikan hadiah. Pengalaman ini juga sangat mengena bagi saya, karena antusias dari anak-anak yang luar biasa, sebenarnya, pada saat berdinamika bersama anak-anak, saya sempat merasa sakit, namun karena sukacita dan semangat anak-anak, saya bisa kembali berdinamika dengan penuh sukacita.  Pada kegiatan ini saya belajar bagaimana harus merelakan dan mengorbankan rasa sakit demi sukacita anak-anak.

Setelah saya melaksanakan Natal bersama, saya bersama teman saya Trudy mengunjungi beberapa tempat umat katolik di Stasi Lingu Lango. Walaupun kami hanya mengunjungi 8 rumah, namun medannya sangat luar biasa. Sebenarnya, saya dan Trudy masih ingin mengunjungi banyak lagi rumah namun karena medan dan juga waktu, kami terpaksa menghentikannya di rumah ke-8. Pada saat kunjungan itu, saya juga belajar tentang Bahasa Sumba dan juga budaya yang ada di Sumba.  Jika di Jawa ada senjata tradisional berupa keris, di Sumba ini ada senjata tradisional berupa “parang”. Ada juga yang menarik tentang Sumba, yaitu pada saat saya mengunjungi salah satu bapa bernama Bapa Batin. Ia bercerita jika saja budaya di Sumba itu diminimalisir, maka Sumba akan menjadi kaya raya. Mengapa? Karena budaya di sana kebanyakan berupa pesta dan pesta itu dapat memakan banyak sekali biaya dalam pelaksanaannya. Jadi Bapa Batin berpikir jika mungkin budaya itu diminimalisir, mungkin anak-cucu akan menghadapi hidup yang lebih makmur kedepannya, itulah salah satu pengalaman yang saya dapatkan dari kunjungan. Ada juga pengalaman yang sangat menyenangkan, yaitu pada saat kami semua saling bergurau bersama, pada saat itu saya merasakan rasa kekeluargaan yang luar biasa besar, mereka tidak pernah saling membeda-bedakan, apalagi soal umur, tapi mereka juga tahu batasan mereka.

Hari-haripun berlalu dengan sangat menyenangkan, dan tak terasa di kalender saya sudah tertera tanggal 26 Desember 2018 yang artinya saya dan tim saya harus kembali ke Palla. Pada saat perpisahan saya bisa melihat raut kesedihan dari wajah umat-umat di Stasi Lingu Lango. Terutama bapa dan mama saya, mereka masih menginginkan saya untuk tinggal, namun apalah daya bukan saya yang mengatur semuanya. Sebenarnya banyak sekali yang telah Tuhan berikan padaku melalui umat di Stasi Lingu Lango baik secara langsung maupun tidak langsung yang pastinya sangat mengena pada diri saya, banyak juga pengalaman-pengalaman tak terlupakan yang menjadi pelajaran hidup bagi saya, dan juga entah kenapa saya menjadi lebih sering merenung dan merefleksikan diri sendiri.

Saya juga ingin berterimakasih pada semua yang telah diberikan ke saya melalui perantara umat di Stasi Lingu Lango terutama saya juga ingin berterimakasih kepada bapa dan mama saya yang bersedia menerima saya dengan tulus. Saya berharap gereja terutama di Stasi Lingu Lango ini dapat semakin maju setelah kedatangan juga kepergian saya. Saya senang  bisa berpengaruh dengan besar dan baik di stasi ini. Saya juga berharap semoga semua yang telah saya dapatkan melalui live-in ini dapat saya terapkan di paroki saya, yaitu Paroki St. Petrus dan Paulus Temanggung, juga tak lupa semoga saya bisa terus berbagi sukacita Injil di tengah masyarakat nan luas ini.

Amin…

Salam Misioner!


 Stevan Sukardi

K. Bandung

It’s Not about me, It’s About us

 

Halo good people se – Indonesia! Salam Misioner!

            Perkenalkan nama saya Benediktus Alexander Stevan Sukandi tapi lebih akrab dipanggil Evan, saya berasal dari paroki Santa Maria Yang Terkandung Tak Bernoda di kota kecil nan indah yang bernama Garut di Keuskupan Bandung.

Nah, pada kesempatan ini, saya mau berbagi pengalaman saya beberapa waktu lalu di tanah Marapu. Ya! Betul! Saya bermisi di tanah Sumba tepatnya di di paroki St Matius Palla. Hmm…kira-kira gimana ya?..Yuk! langsung baca aja!

            Paroki besar di Keuskupan Weetebula tersebut melayani 3 kecamatan dan 13 stasi. Pada kesempatan tersebut, saya bersama teman-teman lainnya dari Keuskupan Agung Palembang, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Surabaya, Keuskupan Agung Makassar, Keuskupan Sintang dan tuan rumah Keuskupan Weetebula, terdampar di tanah Sumba karena program T-SOM (Teens School of Mission) yang bertujuan untuk membentuk kepribadian remaja Katolik yang cerdas, gembira, tangguh dan misioner.

            Untuk menguji keempat poin tersebut dalam pribadi para alumni JAMNAS Sekami 2018 yang telah terpilih, maka dikirimlah kami ke tanah Sumba untuk bermisi dan melayani umat-umat khususnya adik-adik Sekami di stasi-stasi St. Matius, Palla.

            Bersama teman sekelompok dan didampingi oleh Dirdios kami tercinta Romo Elis Handoko dari Palembang, dikirim ke stasi St. Laurentius, Lingu Lango. Perjalanan yang menempuh kurang lebih setengah jam dipenuhi oleh pemandangan sawah, pepohonan yang rimbun dan tebing yang indah, angin sepoi-sepoi juga menemani perjalanan menuju stasi yang memiliki tidak kurang dari 100 umat tersebut.

            Setelah penyambutan meriah dengan pekikan Sumba dan tarian-tarian, kami menuju rumah keluarga baru kami, ayah asuh saya, Wahyu (kawan saya dari keuskupan Agung Palembang) dan Rm. Elis adalah Papa Dance. Pria yang mahir berbahasa Sumba tersebut bertubuh kurus dan berkumis tebal itu memiliki seorang istri cantik bernama mama Carolina dan anak 4 tahun yang pintar bernama Anggy.

            Setelah 3 hari tak terasa dilewati di rumah tersebut, canda-tawa, suara music, TV dan teriakan hewan ternak memenuhi rumah berwarna hijau itu. Saya merasa bahwa hal paling menarik dilalui sejauh ini adalah memberi makan babi. Saya belum pernah melihat / mengetahui adanya ternak babi di Jawa Barat maka merasakan dengan panca indera sendiri rasanya menjadi menarik dan menyenangkan.

            Tanah Sumba memberi kesan baru bagi saya. Hati yang keras dan egois kini dilembutkan dan dihaluskan oleh keramah-tamahan umat St. Matius, Palla. Saya diajarkan bahwa “hidup ini bukan hanya tentang saya”. Tapi menjadi kesempatan belajar menghargai semua hal. Di Sumba ini saya belajar menghargai, budaya, kebiasaan, adat, dan pola pikir masyarakat Sumba.

            Sumba telah membuka mata dan hatiku untuk melihat dunia yang luas dari sudut pandang yang baru. Semoga kesan yang ditinggalkan oleh masyarakat Sumba kepadaku, bisa juga ditinggalkan olehku untuk kalian.

Salam Misioner!


Amanda Rosario Josephhine Gabriella Anribali

KA. Makassar

KEEP STRONG IN EVERY SITUATION

 

            Halo teman-teman…Salam misioner! Perkenalkan nama saya Amanda Rosario Josephine Anribali.  Saya berasal dari Paroki Hati Yesus Yang Mahakudus Katedral, Keuskupan Agung Makassar. Sekarang saya berumur 14 tahun, kelas IX. Sekolah di SMP ZION. Saya lahir pada tanggal 13 Mei 2004, Makassar.

            Saya adalah salah satu anggota T-SOM. T-SOM – Teens School of Mission. T-SOM adalah sekolah misioner bagi anak-anak remaja. T-SOM ini adalah sekolah misioner yang dibuat dalam rangka lanjutan dari JAMNAS. Tidak semua keuskupan di Indonesia. Hanya 6 keuskupan yang mengikuti T-SOM ini,  yaitu Keuskupan Agung Makassar, Keuskupan Agung Palembang, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Surabaya, Keuskupan Bandung dan Keuskupan Sintang. Sebelum kami mengikuti T-SOM, kami harus mengikuti tes tertulis untuk dinyatakan lolos (ikut) tidak bersama tema-teman di keuskupan masing-masing. Dan… ternyata aku lolos dalam tes T-SOM tersebut. Kami juga harus pertemuan tiap bulan untuk mendalami GEREJA KATOLIK. Tibalah kami memulai pertemuan pertama dan mulai membahas kegiatan T-SOM. Salah satunya adalah SUMBA PILGRIMAGE. Kami diajak untuk bermisi ke Sumba agar mempraktekkan bagaimana sih menjadi misionaris itu?

            Sepanjang kami di Sumba, kami diajak juga mendalami dan menjadi misionaris cilik. Kami tinggal di Paroki St. Matius Palla. Dalam paroki ini, terdapat 13 stasi didalamnya. Menjadi misionaris cilik itu tidak mudah loh… memang sih kalo diceritakan, tidak berasa (berasa gampang) namun jika dialami, perjalanan itu penuh dengan perjuangan. Sebelum kami dibagi ke tiap stasi dalam paroki ini, kami dibentuk menjadi 6 kelompok. Aku berada dalam kelompok 1 yang anggotanya seperti, Trudy, Evan, Arcel, Wahyu, Richy, dan juga terdapat 3 pendamping yaitu Romo Elis, Kak Egy, dan Suster Redemta. Perjalanan kami dari paroki ke tempat live-in tidak terlalu lama tetapi dari semua stasi, stasi yang kami (kelompok 1) kunjungi adalah stasi yang paling jauh yaitu Stasi Lingu Lango. Dalam stasi ini juga mencakup 3 kecamatan. Anak-anak Sekami yang aktif adalah 70 orang. Menurutku  ini adalah anak-anak yang sangat hebat. Aku sangat terharu karena di kota yang fasilitasnya tercukupi, koq, sedikit banget yang aktif, sedangkan dalam 1 stasi ini sudah ada 70 orang anak yang aktif. Dalam stasi ini, kami tinggal dalam keluarga-keluarga. Nama anggota keluarga baruku adalah Mama Sinta, papa Marten, Bibi, Hendi, Ima, Febri, Nensy (Angela), Felix. Sangat senang bisa tinggal di keluarga ini, walau keluarga yang baru ini fasilitasnya masih sederhana, sangat berat rasanya harus bisa berjuang tetap tersenyum walau ini bukan zona nyaman saya. Di rumah yang baru ini, tidak menggunakan AC, dan fasilitas lainnya. Meskipun demikian, saya tetap semangat dan tetap berjuang untuk keluar dari zona nyamanku. Mereka menerima aku dengan sangat baik dan mereka menyayangiku seperti anaknya sendiri. Pengalaman yang paling mengesankan saat live-in adalah bisa bertemu dengan keluarga baru dan bisa belajar tradisi  dan budayanya serta bahasanya. Pengalaman yang baru juga adalah melihat tari-tarian dari khas Sumba dan teriakan khas Sumba. Dalam live-in, hal yang paling berbeda adalah kamar mandinya. Kamar mandi dalam keluargaku berada di luar rumah dan di samping hewan-hewan ternak. Jadi setiap mandi kadang tidak tahan mencium aromanya tetapi tetap harus KEEP STRONG.

Hal-hal baru yang aku pelajari adalah tradisi-tradisi di Sumba seperti Belis. Belis adalah salah satu kebudayaan dalam adat pernikahan . Belis adalah adat “Pertukaran” anak perempuan kepada anak laki-laki. Laki-laki akan membawa parang dan kuda/hewan lainnya ke rumah perempuan. Pertukaran itupun ada namanya “ke’te”. Ke’te dalam Bahasa Indonesia adalah ikat. Ke’te terbagi atas 2 yaitu ke’te pindah dan ke’te tidak pindah . Ke’te pindah itu berarti  perempuan pindah ke rumah laki-laki. Ke’te tidak pindah adalah perempuan tetap di rumah orang tuanya, tidak ke rumah laki-laki. Hal yang lain adalah agama merapu. Agama merapu adalah agama yang menyembah alam. Agama merapu sekarang tinggal sedikit karena  kebanyakan orang sudah sadar dan dididik entah secara Katolik dan Kristen. Sangat senang saat kunjungan, bisa mendapatkan ilmu-ilmu baru serta iman yang sangat kuat dari warga-warga / umat-umat.

Live-in ini sangat berkesan bagi saya, dari penerimaan sampai perpisahan, mereka tetap baik dan ramah kepada kami semuanya. Di Sumba dan di T-SOM ini aku belajar banyak hal. Aku belajar untuk tetap tersenyum dan tetap kuat dalam keadaan apapun walau sedang berjuang sekalipun, dan tidak boleh egois dalam diri sendiri tetapi mementingkan orang lain juga.

Salam Misioner!


KELOMPOK II

Syilvia Cendy Enike

K. Sintang

Kisah Misiku

            Quotes yang mewakili semua perjalanan T-SOM ku di Sumba ini ialah “Tuhan tidak pernah menjanjikan proses yang mudah tetapi ia menjanjikan hasil yang indah”. Perjuangan yang aku lalui ini layaknya quotes ini. Bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Begitu banyak halangan dan rintangan yang aku lalui hingga bisa menjadi peserta T-SOM ini. Namun, yang diwakili oleh quotes ini bukan saja hanya tentang perjalanan menuju T-SOM ini saja melainkan juga tentang perjuanganku/pengalamanku sebagai seorang T-SOM.

            Tugas seorang T-SOM ini ialah sebagai seorang misionaris/pewarta. Hal-hal yang ingin di wartakan tidak mudah untuk dilalui. Banyak yang kami persiapkan. Mulai dari barang-barang, ketahanan fisik, serta materi/hal-hal yang akan kami wartakan. Setelah semua hal-hal itu sudah tersiapkan. Mulailah kami memasuki masa live-in. Kami kelompok 2 yang bernama “Lakek Da” (artinya Anak dalam Bahasa Sumba) yang terdiri dari aku sendiri, kemudian Alex, Bona, Gita, Yuyun, Pia, Kakak cantik yang mendampingi yaitu kakak Wiwi, dan romo pendamping yaitu Rm. Nugroho. Kami pun Live–in disalah satu stasi yang ada di Palla yaitu Stasi Kiku Boko. Setelah selesai semua perjalanan kami di hari-hari sebelum live-in, dan ketika live-in berlalu. Banyak hal-hal berkesan yang begitu indah kulalui dan juga hal yang aku pelajari. Hal-hal yang berkesan itu ialah :

Pertama, ialah Ketika bisa hadir, berteman, serta berkelompok dengan teman-teman lain yang terpilih dari keuskupannya. Berawal ketika aku sampai di Katedral Denpasar. Kemudian aku pun melihat banyak teman-teman yang sudah mendahului kami (Keuskupan Sintang). Mulailah kami berkenalan satu dengan lainnya dan ada pembagian kelompok. Akupun akhirnya berinteraksi serta bekerja sama dengan teman-teman baruku yang ada dikelompok itu.

Kedua, ketika di perjalanan melihat pemandangan yang indah. Saat itu ketika dipick up/mobil saat menuju ke stasi dan ke paroki banyak bukit-bukit indah yang kami lihat. Dan juga ketika melakukan perjalanan menuju rumah inap.  Meskipun membawa tas yang berat selama berjalan kaki menaiki bukit yang jalannya berkontur batu, tetapi ketika sampai dipuncak bukit itu kamipun melihat pemandangan yang sangat indah sama layaknya seperti quote yang mewakili perjalanan T-SOM ku ini.

Ketiga, ketika disambut di stasi dan paroki. Ketika kami datang, kami disambut dengan meriah dengan tarian khas Sumba, teriakan khas Sumba, serta salam khas Sumba. Aku pun begitu terkesan karena adat budaya di sini di Sumba ini masih begitu kental.

Keempat, dan yang terakhir ini, ialah ketika mengadakan natal ceria bersama anak OMK dan Sekami serta melayani Tuhan menjadi Ajudan/Misdinar. Aku sangat senang akan hal itu karena natal ceria yang kami adakan berhasil sukses.

            Dan yang akan saya pelajari dari semua inilah ialah menghargai waktu, dan tetap semangat mewartakan injil, serta tetap menjaga adat dan budaya.

Sekian dan terimakasih.


Theresia Gita A

K. Surabaya

Bersukacitalah dan Bergembiralah

 

            Saya di T-SOM 2018 mendapat kesempatan live-in dan merayakan Natal di stasi Kiku Boko, Paroki St. Matius Palla, Sumba Barat Daya. Bersama dengan teman-teman kelompok 2 :  Pia, Bona, Alex dari Keuskupan Agung Palembang, Selvi dari Keuskupan Sintang, Yuyun dari Keuskupan Weetebula, dan saya sendiri Gita dari Keuskupan Surabaya ditambah 2 pendamping yaitu Kakak Wiwi dari keuskupan Bandung dan Romo Nugroho dari keuskupan Agung Semarang. Saya sangat belajar banyak hal, dari keramahannya, semangat, kepedulian dan ketangguhan.

            Di stasi ini untuk berpergian ke lingkungan-lingkungan membutuhkan perjuangan yang berat, medan yang berbatu, jalan menanjak dan menurun, licinnya jalan saat hujan dan jika malam tiba tidak ada penerangan jalan. Saat saya benar-benar merasakan medan seperti itu, menambah rasa kagum saya. Dimana mereka tetap senang dan bersukacita mesti medan berat mereka lewati.

            Kami di stasi ini selama 4 hari 3 malam. Saya dengan teman-teman serta OMK stasi Kiku Boko bahu membahu membersihkan gereja, ada yang membuat gua Natal, membersihkan altar dan gereja, mengikis lilin serta menghias gereja. Kami melaksanakan dengan sukacita.

            Natal telah tiba. Saya dan teman-teman kelompok 2 dan Sekami Stasi Kiku Boko merayakan Natal ceria. Kami bermain bersama, kami memberikan animasi dan kita bernyanyi bersama. Kami bermain “Aku Berkata” untuk melatih konsentrasi. Setelah itu kami bermain  “Tupai dan Pohon” untuk berbaur dengan yang lainnya. Permainan Tupai dan Pohon untuk membentuk kelompok. Setelah membentuk kelompok kami langsung pergi ke lapangan. Di situ kami bermain 3 permainan. Permainan pertama “Menara Benda” permainan ini mengajarkan kerjasama. Permainan kedua “Meniti Jembatan” permainan ini mengajarkan  rela berkurban. Permainan ketiga “Puzzle Injil” permainan ini mengajarkan “keberanian”.  Selain itu juga ada quiz melihat tawa, semangat, sukacita, dan antusias mereka. Membuat saya semakin bersyukur karena kehadiran saya dan teman-teman dapat membawa sukacita bagi mereka.

            Keesokan harinya kami pulang ke paroki pusat. Perpisahan ini sangat mengharukan banyak dari kami yang meneteskan air mata. Meskipun saya sedih namun saya juga bersukacita karena dapat berbagi sukacita dan pengalaman. Dengan semua itu saya semakin semangat untuk berbagi sukacita kepada sesama dengan motto dan semangat sekami 2D2K dan Children Helping Children.


Bonaventura Christian Armando

KA. Palembang

Kisah kasih di Stasi Kiku Boko

 

Pengalaman yang berkesan adalah ;

“Tuhan pasti akan kasih kemudahan kepada orang yang telah ia pilih untuk mewartakan kabar Gembira”

            Kelompok saya yang bernama “Lakekda” yang berarti “anak”. Kelompok ini terdiri dari Alex, Gita, Selvi, Pia, dan saya sendiri didampingi satu kakak pembimbing yang bernama kakak Wiwi dan ada satu romo pendamping yaitu Romo Nugroho. Di Denpasar kami banyak melakukan briefing untuk hal-hal teknis di Sumba. Kami juga banyak beranimasi dan berdinamika. Lalu di tanah Sumba kami banyak melakukan kegiatan dan acara, diantaranya yang berkesan adalah ;

*          Dapat mengenal kesaksian tentang keluarga dari Mama Demus. Beliau adalah istri dari Bapa Demus (pembimbing umat stasi Kiku Boko) ia bercerita tentang dia yang tidak tergoyahkan akan iman dari kekasihnya. Dia bercerita katanya : beberapa saudara mama itu banyak yang berpindah iman karena suaminya. Tetapi mama sendiri yang tidak karena mama sudah dipesankan oleh ibu mama sendiri. Mama juga pernah disuruh, kalau mama pindah iman nanti akan ada uang saku perbulan. Tetapi mama tidak mau karena mama percaya akan satu iman yaitu Yesus Kristus. Itu katanya dan saya dalam hati bernjanji untuk setia pada satu ajaran dan satu iman.

*          Dapat bertemu dan berpisah dengan stasi Kiku Boko.

– Pada saat bertemu, kami sangatlah senang dan bersukacita karena kami sangat disambut dengan hangat oleh orang-orang di stasi Kiku Boko, kami disambut dengan tarian khasnya dan kami bersalaman serta berciuman khas sumba. Kami juga diperlakukan sangat amat ramah dan baik. Kami juga sangat dilayani oleh keluarga yang kami tempati, diantaranya keluarga Bapa Demus, Bapa Nona, dan Bapa Ivon, serta Mama Ben.

– Pada saat berpisah, saya sangatlah bersedih karena tidak dapat bertemu dengan keluarga stasi Kiku Boko. Pada saat acara sayonara di stasi saya sangatlah bersedih dan menangis. Dan pada saat kami bersalaman untuk terakhir kalinya saya dipesankan oleh mama katanya “anakku jangan menangis, pulanglah dengan senyum”. Disitu saya tidak bisa menahan rasa menangis lagi.

*          Aku menemukan semangat Sekami itu pada saat bertemu dan berpisah dengan Stasi Kikuboko. Pada saat bertemu aku selalu berdoa dan selesai kegiatan maupun acara, karena aku tahu bahwa Tuhan pasti menyertai kegiatan kami dengan kasih-Nya.

Pada saat berpisah juga saya berdoa kepada Tuhan untuk selalu membimbing umat-umat di Stasi Kiku Boko untuk selalu memuji dan memuliakan nama Tuhan dengan cara yang benar. Saat bertemu kami mendermakan dan mengkurbankan tenaga untuk membagikan sukacita kepada anak-anak Sekami Kiku Boko. Saat berpisah saya mendermakan dan mengkurbankan isi hati saya untuk selalu bersukacita. Saat bertemu kami melakukan kesaksian dengan menjadi pelayan ekaristi yaitu ajuda atau misdinar.

Saat berpisah kami melakukan kesaksian dengan memberi sedikit souvenir dari keuskupan masing-masing sebagai ucapan terimakasih.

*          Saya sangat bersyukur karena kami diterima dan dilayani dengan sangat baik di Stasi Kiku Boko. Saya sangat bersyukur karena kami dapat mengenal kebudayaan yang ada di Sumba. Saya sangat bersyukur karena dapat diterima di keluarga Bapa Nona. Bapa Ivon, dan Bapa Demus. Saya bersyukur karena dapat berkenalan dengan anak-anak Sekami dan kakak-kakak OMK dari stasi Kiku Boko. Saya bersyukur karena dapat bersukacita dengan orang-orang di Stasi Kiku Boko. Saya bersyukur karena dapat menjadi pelayan ekaristi di malam Natal dan Natal pagi. Saya bersyukur karena dapat merayakan Natal ceria di Stasi Kiku Boko. Saya bersyukur karena dapat berdinamika dan beranimasi dengan anak-anak Sekami dan kakak-kakak OMK.

*          Niat saya adalah untuk selalu memuji dan memuliakan nama Allah dengan cara yang benar. Harapan saya adalah untuk selalu mengedepankan Tuhan dalam setiap kegiatan maupun acara. Janji saya untuk selalu mengabarkan sukacita kepada siapa pun dan kapan pun.

*          Doa

Allah Bapa yang maha kasih dan penyayang, terimakasih atas berkat yang telah Engkau berikan kepada kami sehingga kami dapat bersukacita dan bergembira dengan orang-orang yang ada di stasi Kiku Boko semoga dengan kami bersukacita dan bergembira dapat membubuhkan semangat persaudaraan serta cinta kasih yang mendalam. Allah Bapa yang Mahakasih berkatilah umat-umat yang ada di Stasi Kiku Boko untuk selalu memuji dan memuliakan nama-Mu dengan cara yang benar, nama-Mu kami puji kini dan sepanjang masa, Amin.

*          Quote

“Kebersamaan diciptakan dari persaudaraan yang sejati dan cinta kasih yang mendalam”.


KELOMPOK III

 Michael Bonvilio Widiyarto

KA. Semarang

Pengalaman misionerku yang paling berkesan sejak berangkat adalah ;

Pertama kalinya saya tidur di Seminari Menengah Tinggi Kentungan. Selain itu juga pertama kalinya saya berkunjung ke Seminari Menengah Kentungan, dan setelah itu kami berjalan menuju Bali, Denpasar. Kita menuju Denpasar untuk bertemu teman-teman T-SOM. Dan ini merupakan pertama kali kita bertemu karena pada saat Jamnas Sekami rata-rata dari kami tidak saling bertemu karena jumlah peserta yang sangat banyak. Kita saling berkenalan dan kita semua langsung akrab satu sama lain kita juga bertemu bapak uskup Denpasar. Di sana kita mempersiapkan hal-hal  yang kita bawa selama live-in di Sumba. Kemudian kita berangkat bersama. Sesampainya di Sumba kita disambut oleh pastor dari paroki Santo Matius Palla. Kita disambut dengan tarian sambutan khas Sumba dan saya juga pertama kali melihatnya. Di Sumba tamu diperlakukan sangat istimewa, kita juga diajarkan ‘ciuman’ khas Sumba yaitu cium hidung. Tiba saatnya kita menuju rumah umat untuk melakukan live-in . Saya mendapat kesempatan untuk merasakan hidup bersama keluarga Bapa Amos. Keluarga Bapa Amos sangat menerima kedatangan kami. Kami disambut dengan senyuman. Selama live-in, saya merasa senang dan bahagia. Kita juga mulai mempelajari budaya-budaya Sumba. Bermain dengan anak-anak Sumba sangat menyenangkan, karena kita di sana bermain dengan alam. Ada juga hal yang baru yaitu jika akan mandi kita harus mengambil air dahulu dari sumber mata air. Dan di sana jika kita berkunjung ke rumah tetangga kita akan diberi makanan oleh pemilik rumah dalam porsi yang besar. Jadi di sini kita bisa mendapat banyak pengalaman baru. Orang-orang di stasi saya sangat ramah. Hal yang paling seru adalah berkunjung ke rumah umat yang jaraknya saling berjauhan dan jalannya naik turun gunung. Ada juga hal yang menarik yaitu dengan kedatangan kami anak Sekami yang biasanya sedikit jumlahnya menjadi banyak. Semoga walau kita pulang mereka tetap rajin mengikuti kegiatan Sekami. Saat akan merayakan Natal ada kegiatan bersih gereja yang diikuti oleh seluruh umat stasi tersebut, saya ikut kegiatan tersebut bersama keluarga Bapa Amos. Kami berjalan menuju gereja menggunakan jalan pintas yaitu melewati kebun, saat perayaan Natal latihan dilakukan beberapa menit sebelum misa, itu merupakan pengalaman baru bagi saya. Tibalah hari terakhir saya live-in. Saya berpamitan dengan keluarga Bapa Amos. Saya merasa sedih harus berpisah tetapi kita tidak boleh sedih karena ada pepatah berbunyi “Di mana ada pertemuan pasti ada perpisahan” . Kita pulang menuju Paroki Palla diarak oleh umat stasi saya menggunakan motor lalu diarak keliling kampung.

Saya menemukan semangat Sekami dari semua kegiatan yang saya lakukan di sana. Saya menemukan semangat CHC adalah saat kita merayakan Natal bersama sesuai misa perayaan natal bersama anak-anak dan seluruh umat di stasi tersebut, dan saat kita anak-anak T-SOM mengisi acara natalan bersama anak-anak Sekami di situ saya merasa mewartakan kabar Kristus.

Rahmat yang Tuhan berikan padaku adalah umat yang sangat ramah dan anak-anak yang sangat baik yang mau mengajak saya bermain keliling di stasi tersebut. Semangat yang saya dapatkan adalah semangat dalam Kristus walau dalam keterbatasan.

Doa

Puji dan syukur aku haturkan pada-Mu atas rahmat berupa pengalaman baru yang kau berikan padaku, hal-hal yang baru yang dapat berguna bagi hidupku dan masa depanku kelak. Aku juga mohon pada-Mu semoga dengan pengalaman ini juga dapat mengubah  agar hidupku lebih baik lagi dan aku berdoa untuk semua umat Stasi Santo Damasus agar tetap semangat memuliakan Tuhan.

“Setiap pengalaman ada kenangan berbeda”

“Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan”


Sagita Dwi Priyanti

K.  Surabaya

Pengalaman misionerku berawal dari hari jumat 21 Desember 2018. Setelah misa pagi di gereja Katedral Hati Kudus Yesus Surabaya, Aku dan teman-teman lain berangkat ke bandara untuk menuju Denpasar tepatnya di gereja Katedral Roh Kudus Denpasar. Dari Keuskupan Surabaya disambut dengan penuh sukacita dan kegembiraan oleh Sekami dari Keuskupan Denpasar. Di sana kami bertemu juga dengan teman-teman alumni Jambore Nasional yang pada saat bulan Juli 2018 diadakan di Pontianak. Dengan penuh kegembiraan dan sukacita kami bernyanyi bersama, makan bersama, saling bertukar cerita ketika kami berada di keuskupan Denpasar. Aku merasakan seperti mengulang kembali saat Jambore Nasional di Pontianak. Dengan semangat 2D2K  adik-adik sekami di Denpasar memeriahkan malam sebelum kami berangkat ke Sumba untuk live-in.

Setelah keesokan harinya kami berangkat ke bandara Tambolaka untuk memulai live-in kami. Setelah tiba aku sangat terkejut dengan keadaan di sana, kami dijemput dengan bis yang sebelumnya aku mengira sama dengan bis di kota. Namun ternyata berbeda tetapi tidak kalah mengasyikan/menyenangkan bagiku. Saat sampai di Paroki St. Matius Palla kami peserta T-SOM juga disambut dengan meriah, dengan tarian khas Sumba, lalu juga pekikan/teriakan yang sangat khas dari Sumba. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena  diperbolehkan mengenal adat budaya yang ada di Sumba ini.

Minggu tanggal 23 Desember 2018, aku memulai live-in bersama dengan satu teman dari Bandung, 2 teman dari Palembang dan satu teman dari Semarang, juga dengan satu pendamping dari Weetebula, satu pendamping dari Bandung dan satu romo dari Makassar. Saat awal kami datang di stasi St. Damasus Weerabuka itulah tempat stasi yang kami layani. Kami disambut dengan bahagia dan tangan terbuka yang membuat kami juga sangat senang untuk live-in di Weerabuka.

Di awal kami datang kami sudah ditantang oleh jalanan yang sangat menanjak sehingga cukup membuat kami lelah, tetapi inilah misioner bagaimanapun keadaannya kami harus bersyukur dan tidak mengeluh dengan keadaan yang ada. Kami juga di perkenalkan dengan adat dan budaya yang ada. Saat Natal ceria di stasi kami juga membagikan semangat misioner kepada anak-anak Sekami di sana dan juga membagikan sukacita Natal, agar anak-anak Sekami di stasi Weerabuka selalu bersemangat dan pantang menyerah walaupun keadaan dan fasilitas di sana kurang. Di Weerabuka aku menginap di salah satu rumah warga yang suasananya sangat harmonis dan dari keluarga tersebut aku belajar untuk menghargai sesama anggota keluarga, saling mencintai dan peka terhadap yang lain. Banyak sekali pengalaman-pengalaman berkesan, kami juga saling berbagi cerita dengan anak-anak Sekami di Weerabuka. Mereka sangat antusias mendengar cerita kami, mereka juga mau untuk belajar budaya dan adat kami walaupun kami berasal dari berbeda-beda keuskupan, kota dan pulau. Membagikan sukacita Natal di stasi St. Damanus Weerabuka sangat  menyenangkan ditambah dengan semangat misioner kami 2D2K membuat kami semakin terus-menerus membagikan sukacita Natal dan sukacita Injil dalam kebhinekaan.

Pengalaman pelayanan di stasi aku menemukan semangat –semangat SEKAMI 2D2K (Doa, Derma, Kurban & Kesaksian) didalam diri anak-anak Sekami di Stasi St. Damasus Weerabuka. Mereka sering berdoa sebelum makan, sesudah makan, sebelum tidur dan pada saat pagi bangun tidur. Aku senang memperhatikan mereka. Semangat mereka yang selalu menyala walaupun keadaan & fasilitas mereka kurang namun mereka masih bisa menjalani hidup iman Katolik mereka. Dari kehidupan doa mereka membuat kami juga semakin bersemangat menjalani misi kami. Lalu derma, di Stasi St. Damasus Weerabuka umat di sana walaupun hidup berkekurangan tetapi mereka masih sering berbagi kepada orang lain yang membutuhkan, sehingga mereka pun dapat hidup bersama-sama sebagai kesatuan.  Kurban, Jika di kota atau contohnya kota Surabaya jika mempersembahkan persembahan hanya berupa piala & anggur lalu buah-buahan, namun hal lain yang aku lihat di Stasi St. Damasus Weerabuka mereka mempersembahkan hasil kerja mereka / hasil alam juga seperti beras, pisang, jagung, kopi, telur dan masih banyak lagi. Mereka mempersembahkan itu semua sebagai lambang persembahan hati mereka kepada Tuhan. Kesaksian, di sana mereka juga bersaksi dengan perilaku dan tingkah laku mereka yang mencerminkan mereka sebagai anak-anak Sekami dan mereka juga saling membantu satu dengan lain dan aku menemukannya di dalam diri masing-masing setiap umat di stasi St. Domasus Weerabuka dan aku mewartakan kabar sukacita Kristus dengan berbagai kebahagiaan Natal, menyanyi bersama, membagikan hadiah Natal.

Rahmat yang diberikan Tuhan melalui pengalaman ini adalah aku harus selalu bersyukur dengan apa yang ada, dengan apa yang telah Tuhan berikan kepadaku dan tidak mengeluh dan sebagai ungkapan syukurku aku akan menepati janji yang akan aku buat sebagai rasa syukurku kepada Tuhan.

Sebagai ungkapan rasa syukurku kepada Tuhan aku berniat dan berjanji akan selalu menghidupi iman Katolik yang telah Tuhan berikan dan selalu mau mengucap syukur kepada Tuhan. Harapanku hanyalah ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan selalu berpegang pada Tuhan dan tetap menjalani semangat 2D2K.

Allah Bapa Yang Maha kuasa dan kekal. Terima kasih atau atas segala cinta, rahmat, anugerah-Mu kepadaku. Aku boleh merasakan pengalaman yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan, semoga dengan T-SOM ini aku semakin bertumbuh dalam iman akan Dikau, semakin mengagungkan nama-Mu dimanapun aku berada sebab Engkaulah satu-satunya yang hidup dan berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin

Selalu bersyukur hari ini, esok dan selama-lamanya


Jane

K. Bandung

“Naik turun gunung tanpa kenal lelah, itulah Misioner”

 

            Salam misioner! Saya Margareta Jane Widyawan dari keuskupan Bandung ingin membagikan pengalaman misioner dari tanggal 21 – 26 Desember 2018, kami semua para peserta T-SOM, para pendamping, dan para romo Dirdios sangat lelah karena sudah dari bandara lalu ke Bali, di Bali juga masih ada acara sampai malam tapi di dalam kecapean itu saya sangat, sangat, sangat bergembira. Kami para peserta T-SOM berkumpul dan menurut saya, itulah hal yang paling menyenangkan dan berkesan untuk saya karena pertamanya aku ikut acara T-SOM dan aku kalau ikut acara paling takut kalau gak ada teman tapi ternyata mereka semua baik dan mereka bergabung dengan teman-teman semua terus ada banyak lagi hal berkesan, pertama kalinya misa di Katedral Roh Kudus Denpasar, disambut dengan baik oleh semua umat Katedral Roh Kudus Denpasar, lalu kami juga nyanyi dan menari bersama adik-adik Sekami Denpasar, pada mau tau gak perjalanan misi kami selanjutnya?

Baca terus ya sampai beres.

            Kami para peserta T-SOM sangat bersemangat lohh… dalam menjalankan misi kami semua yaitu menuju Sumba. Eits…tapi tunggu dulu sebelum kita berangkat, kami juga harus tau misi apa yang akan kita lakukan di sana. Sesampainya kami di Sumba ada perasaan terharu, senang, gembira, sukacita, tau ga karena apa? Karena kami sangat diterima dengan baik oleh warga Sumba, Oh iya…ada kebiasaan orang Sumba yang menurut aku sangat unik yaitu Cium Sumba, cium Sumba ini menempelkan hidung dengan hidung, kenapa ya hidung dengan hidung yang ditempelkan? Karena kita diberi napas yang baru dari orang Sumba, kami jadi sangat bersyukur karena keadaan di sini mandi susah, mereka harus nimba air dulu dan bukan hanya air yang susah, listrik susah, sinyal juga susah, bukan hal yang gampang untuk menerima semua ini apalagi kids jaman now tapi kita sebagai misionaris cilik kami ingin beradaptasi dengan semua yang ada dan menerima apa yang ada.

            Saatnya kami semua bermisi, saya merasakan semagat yang membara untuk bermisi di Stasi Santo Damasus atau Stasi Weerabuka, sebagai seorang misioner cilik kami semua menjalankan misi dengan nada dasar C yaitu cinta, di sinilah kami belajar untuk live-in dan seperti mereka, ditempat kami live-in kami sangat banyak belajar termasuk Bahasa Sumba yang ga ada mirip-miripnya dengan Bahasa Indonesia dan sangat unik contohnya may nga’a (mari makan), ngarang goyawa (nama saya), dara (kuda) dan masih banyak lagi, kami dibawa keliling ke kampung-kampung dan ada yang berkesan kami disuruh minum kelapa tanpa sedotan tapi terasa lebih segar dibanding yang sudah ditumpahkan  ke gelas, dan itulah keseruan kita.

            Saatnya kami beraksi untuk bermisi yaitu mengisi acara Natal cerita untuk anak-anak Sekami di stasi Weerabuka, anak-anak Sekami disana sangat antusias untuk menjawab pertanyaan yang kami beri karena ingin mendapat hadiah dari kami lalu mereka juga sangat antusias untuk mendengarkan panggung boneka yang kami persiapkan. Mereka sangat gembira dan melihat mereka gembira, kami pun jadi gembira karena misi saya sendiri yang paling sederhana dan menjadi kebahagian tersendiri yaitu melihat mereka bahagia dan tersenyum, lalu di stasi saya itu jalannya naik turun seperti jalan di gunung tetapi walaupun begitu kami tetap semangat. Ini pengalaman misionerku mana pengalaman misionermu? Sekian dari saya,

Salam Misioner!


KELOMPOK IV

Pauline Sucitra Dewi

K. Sintang

Santa Claus is Coming to Town

            Tahukah kalian siapa itu Santa Claus?

            Dalam dongeng anak, di malam Natal ada seorang pria tua berambut panjang dan berjanggut putih, mengenakan setelan merah dan topi berwarna senada dengan aksen bulu-bulu putih. Tawanya sangat khas, ia mengendarai kereta yang dijalankan oleh rusa berhidung merah. Ia dikenal dengan kebaikan hatinya membagikan hadiah natal ke rumah-rumah melalui cerobong asap. Kehadirannya banyak dinanti, terutama oleh anak-anak. Mereka menggantungkan kaus kaki di perapian, berharap Santa Claus akan memasukkan hadiah untuk mereka di sana. Dan katanya hanya anak-anak yang berbuat baik sepanjang tahun saja yang akan mendapat hadiah.

            Seiring bertambahnya umur dan berprosesnya pola pikirku, aku menyadari bahwa Santa Claus hanyalah kebohongan semata. Atau dengan Bahasa yang lebih halus, Santa Claus dengan rusa dan hadiahnya adalah sebuah dongeng yang dikarang supaya anak-anak yang mendengarnya termotivasi menjadi anak baik demi kado natal.

            Lalu, apakah hubungannya  dengan refleksiku ini? Awalnya aku kebingungan akan membuat judul apa, namun aku teringat lagu Natal “Santa Claus is Coming to Town”. Aku tidak tahu siapa yang menyanyikannya pertama kali. Yang jelas, aku menemukan hubungannya dengan pengalamanku selama beberapa hari lalu. Maka aku memutuskan untuk menjadikannya judul refleksi.

            Baiklah. Aku diutus oleh Keuskupanku untuk menjadi peserta Teen School of Mission (sekolah Misi Remaja) yang kini sedang bermisi di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Momen libur panjang dan Natal menjadi waktu yang ditentukan. Yang berarti aku tidak akan merayakan Natal bersama keluargaku, teman-temanku, dan umat di Gerejaku.

            Yang pasti, Sumba sangat berbeda dengan Kalimantan. Perbedaan itu jadi terlihat unik.  Mulai dari salam Sumba, dimana saat kita bertemu orang lain kita saling menempelkan hidung. Hidung loh ya. lalu tempat tinggal yang berbentuk rumah panggung dengan tiga tingkatan. Tingkat paling bawah ada hewan ternak, di tengah tinggallah orang-orangnya, dan paling atas lumbung makanan. Bentuk atapnya juga sangat khas. Kemudian cara makan yang nasinya sudah kayak gunung, belum ditambah lauk dan sayurnya lagi. Pengen ngurangin tapi nggak enak. Akhirnya aku makan juga dan merasa bangga gitu bisa ngehabisin makan ala Sumba.

            Lalu, Stasi Puu Kawona dengan orang-orangnya yang sangat ramah dan hangat. Anak-anaknya yang agak pemalu dan hanya bisa sedikit-sedikit saja berbahasa Indonesia, namun sangat tertarik dan menikmati acara Natal Ceria Bersama yang kami rancang meskipun tidak semudah yang dibayangkan.

            Disini, kami (aku dan teman-temanku) menjadi Santa Claus yang lebih realistis. Bukan Santa Claus yang datang membagikan hadiah secara Cuma-Cuma, kami datang membawakan sukacita Natal. Kami datang bersama Pastor Maman supaya Stasi Puu Kawona dapat merayakan Natal dengan misa dari malam Natal, Hari Raya Natal, hingga Natal kedua. Biasanya mereka hanya dapat merayakan satu kali misa. Kami datang mengajak anak-anak bermain dan beraktivitas serta bernyayi memuji Tuhan. Kami datang bersama suster Modesta dengan senyuman dan sapaan ramahnya, juga pak Benyamin dengan candaan lucunya.

            Sumba adalah kota kecil yang luas dimana kami ditempatkan. Tentu saja kami tidak bisa datang ke seluruh penjuru Sumba ini. Umat paroki Santo Matius Palla adalah orang-orang yang mendengar kabar kedatangan kami. Yang mereka harapkan tentu kehadiran kami semua di tengah-tengah mereka untuk merayakan Natal bersama. Kami tentu tidak boleh membuat mereka kecewa. Kami pun berharap kedatangan kami bisa bermakna.

            Sungguh Natal yang membahagiakan. Mungkin aku tidak merayakannya di tanah Borneo bersama Mama, Mbak, Nenek, dan keluarga lainnya, tidak juga bersama teman-teman akrabku, apalagi pastor dan suster di parokiku. Tapi di tanah Sumba ini, aku merayakannya dengan keluarga baruku, Bapa-Mama Jeslyn, Bapa-Mama Jesica, teman-teman baruku ; Diana, Arjun, Manuel, Alonso, juga pastor Maman, Suster Modesta, dan Pak Benyamin yang cepat akrab dan banyak menolong kami di sekolah misi ini.

            Puji syukur, kuhaturkan kepada Tuhan Yesus yang dengan segala kuasa-Nya memberiku jalan menuju Sumba dan mengutusku menjadi misionaris cilik-Nya. Aku mengucapkan terimakasih kepada Karya Kepausan Indonesia yang merancang T-SOM sehingga kami anak SEKAMI dapat sungguh mewartakan kabar sukacita injil dalam semangat 2D2K.

            Terimakasih KKI Keuskupan Sintang yang telah memberiku kesempatan untuk merasakan hidup sebagai misionaris di T-SOM ini. Terimakasih Mama, Mbak, Mas, yang selalu memberikan dukungan dan doanya.

            Aku merasa bangga kepada diriku sendiri yang sudah berani mencoba keluar dari zona nyaman dan menantang diri sendiri untuk hidup di desa dengan segala keterbatasannya. Semoga aku bisa sama kuatnya saat menghadapi tantangan iman. Dan juga semoga aku bisa menjadi seperti Santa Claus, memberi dan berbagi dimanapun aku berada.

            Damai Kristus beserta kita semua.


Manuel Eda M.

K. Surabaya

Learn to Know

 

            Arti atau maksud dari judul ini adalah saya atau kita dalam hidup kita harus belajar untuk mengetahui atau peka terhadap sesama maupun manusia, hewan, dan alam. Juga sebisa mungkin sebagai sesama manusia mengetahui kekurangan atau keterbatasan sesama dan membantunya.

            Hal “Learn to know” ini saya mulai pada tanggal 22 Desember lalu. Ketika itu saya beserta teman-teman T-SOM dari 6 keuskupan yakni Palembang, Bandung, Sintang, Semarang, Surabaya dan Makassar. Tujuan kami peserta T-SOM ke Sumba NTT ini adalah untuk belajar tentang keanekaragaman Indonesia yang beragam, kami akan tinggal bersama keluarga-keluarga yang ada di Sumba ini. Kemudian mungkin teman-teman bertanya apa yang kami akan lakukan di masyarakat ini? Disini kami akan berbaur dengan masyarakat sekitar.

            Di sini kami melihat adanya perbedaan yang mencolok antara perkotaan dan di Sumba. Perbedaan yang paling mencolok adalah perkotaan jalan yang cenderung landai. Di daerah ini hampir di semua daerah adalah daerah perbukitan. Tarian khas yang ada di sini diiringi dengan gong dan ketipung yang dipukul. Di Sumba ini tidak terdapat listrik dan air yang memadai yang mengakibatkan saya harus menyesuaikan dan belajar memahami situasi dan kondisi mereka di stasi Puu Kawona ini. Suasana malam Natal di stasi ini meriah namun sederhana, situasi seperti ini sangat jauh dibandingkan dengan di perkotaan.  Dari kesederhanaan di sini saya belajar untuk mensyukuri apapun karunia yang telah Tuhan berikan kepada saya . Ada satu hal yang saya lupakan, untuk makanan porsi di Sumba ini sangat banyak dan harus dihabiskan. Dari sini saya mengimani  bahwa kita harus menghargai orang di sekitar kita. Jika di rumah, kita makan sedikit dan terkadang tidak dihabiskan jika kita tidak suka, itu berarti sama dengan tidak menghargai makanan dan orang yang menyediakan makanan tersebut. Rumah di Sumba ini terdapat tiga tingkat yakni hewan di bawah, manusia, kemudian di atas terdapat persediaan makanan. Saya merefleksikan bahwa di dunia ini terdapat tiga pilar utama yakni hewan, manusia, dan tumbuhan jika salah  satu dari ke-3 pilar ini musnah maka alam ini tidak akan seimbang. Pada hari raya Natal umat stasi sangat antusias terutama anak-anak. Mereka sangat ingin dengan hadiah yang kami bawakan, dan ada dari mereka yang merasa sedih karena telat mendapatkan hadiah. Dari situ saya merasa iba terhadap keterbatasan mereka. Saya berusaha semampu saya untuk berbagi sukacita materi maupun non materi. Saya tinggal di rumah bapak Putra yang sekaligus ketua stasi dan guru agama. Saya tinggal dengan oma, mama, putra Paulin, dan Nora. Dengan tak adanya listrik  di tempat ini, saya menghargai keterbatasan dan karena  tidak  ada listrik, itu tidak menghalangi keakraban kami.

            Kelompok yang berada di stasi ini adalah saya, Romo Maman, Suster Modesta, Pak Benyamin, Pauline, Diana, Alonso dan Arjun. Setelah perpisahan, saya merasa iba dan didasari semangat 2D2K saya memberi sedikit bantuan pada Bapak Putra. Saat itu juga raut wajah pak Putra menjadi sedikit lebih cerah, jadi dimanapun kita berada kita harus selalu peka, menghormati, dan menghargai. Terlebih jika kita memberikan bantuan, jangan sampai orang tersebut tersinggung. Dan jangan lupa tetap jalankan semangat 2D2K.

Syukuri apa yang ada dalam hidupmu

Lihatlah apa yang dibawahmu, jangan diatasmu


KELOMPOK V

Elisabeth Leuni.B.

KA. Semarang

T-SOM yang Berbagi

Didalam acara T-SOM kali ini aku sangat berpegangan teguh oleh 2D2K atau Doa, Derma, Kurban, dan Kesaksian. Aku juga mempersatukan semua anak di Santo Matius Palla dengan semboyan children helping children. Kami juga harus siap untuk diutus untuk berbagi sukacita kapan saja dan dimanapun.

Aku adalah peserta T-SOM dari Keuskupan Agung Semarang. Untuk kali ini kita berpetualang di tanah Sumba. Kata-kata yang aku lontarkan saat melihat pemandangan di tanah Sumba adalah wowww… Setelah sampai di pastoran kami disambut dengan tarian khas Sumba. Setelah kami memulai acara tersebut kami diajarkan salam Sumba dengan menempelkan hidung. Aku di petualangan misi kali ini menginap di rumah Bapak Amos. Bapak Amos adalah bapa yang sungguh penyayang dan pekerja keras. Bapak Amos memiliki 3 orang anak, anak yang pertama bernama Nadia, kedua adalah Nano dan anak ketiganya adalah Jino. Tidak hanya di keluarga, di gereja pun kedatanganku juga didamba-dambakan, kami juga disambut dengan penuh kegembiraan. Anak-anak Santo Matius Palla juga mendambakan kedatanganku. Kami hanya mengisi acara Sekami di Santo Matius Palla dengan menyuguhkan panggung boneka dan bernyanyi bersama. Kami juga membantu menghias altar dengan suster, untuk kegiatanku di rumah Bapak Amos aku hanya membantu mencuci piring dan mempersiapkan untuk  makan siang, makan malam dan sarapan pagi. Ada salah satu momen yang membuatku terharu dan rindu dengan keluarga di rumah. Kami setiap habis makan malam ada sharing bersama keluargaku. Aku menceritakan pengalamanku di tanah Sumba ini sehingga waktu terus berjalan terus menerus. Pengalaman yang terbaik dan paling terkesan adalah saat Natal, biasanya kalo aku di rumah, Natal disuguhkan dengan pakaian baru, dan semua serba baru. Namun kali ini aku hanya bisa merayakan Natal dengan kesederhanaan, dan walaupun terbentur oleh kesederhanaan aku harus tetap mewartakan sukacita bersama anak-anak Sekami Paroki Santo Matius Palla. Kami harus ingat kita di sini diutus untuk menggerakkan anak-anak Sekami agar terlibat dalam tugas bermisi di gereja, yakni mewartakan kabar gembira. Dan semoga dengan keikutsetaanku di acara ini aku bisa menjadi anak-anak Tuhan yang bisa bertoleransi antar umat dan teman lain agama. Mungkin baru ini yang bisa aku sharingkan sampai bertemu di kegiatan-kegiatanku selanjutnya.


Bintang

KA. Palembang

Suka dan Rela

Dalam bermisi lelah, gelisah dan keluh kesah itu pasti. Pantang menyerah karena Kristus di hati. Suka dan Rela adalah 2 hal berkaitan erat. Jika dalam bermisi kalian sudah suka, maka akan rela melakukan apapun bagi Kristus.

Sedari hari pertama tanggal 21 Desember 2018 di Denpasar, atmosfer kebahagian sudah terasa di tengah-tengah kami peserta T-SOM. Sambutan dari tuan rumah Paroki Roh Kudus Katedral Denpasar menambah lebarkan senyuman. Sewaktu senggang, perkenalan datang dari inisiatifku. Aku meminta teman-teman semua untuk duduk dalam lingkaran dan memperkenalkan diri satu per satu. Tak kenal maka tak sayang. Perkenalan membuka kesempatan kami untuk saling menyayangi, terbukti keakraban sudah terjalin dalam satu malam sampai-sampai ruangan tidur sangat berisik. Hari kedua dengan diawali Ekaristi bersama Mgr. Silvester San, uskup Denpasar. Pamit dan pergi menuju bandara menggunakan bus. Sepanjang perjalanan sukacita kami ekspresikan dengan bernyanyi berbekal gitar kecil yang kubawa. Terlihat bahwa raut wajah kami sudah tak sabar dengan tanah Sumba. Kami terbang kurang lebih 50 menit dan sampai di bandara Tambolaka, Sumba. Setelah koper kami semua diangkut, dengan bus mini, kami menuju ke rumah bupati terpilih yang mengundang kami untuk santap siang dengan makanan khas Sumba walau mungkin tak cocok dengan lidah daerah kami namun bersyukur bahwa bisa mencicipi. Lanjut perjalanan kurang lebih 1 jam dan saat dekat dengan paroki Matius Palla, Sumba Barat Daya kami diarak dengan motor-motor umat yang sudah lama menanti. Tiba saat penyambutan dengan tarian Woleka dan Gasakako, serta tarian Sumba Piyawao dan pakalaka. Sungguh meriah dan bhinneka terasa. Tarian menggunakan ‘parang’ atau golok yang merupakan lambang kejantanan, itu sudah tradisi. Berbagai sambutan perwakilan paroki sekaligus pula perkenalan dengan Alumni Jamnas dari keuskupan Weetebula dan kami mendapat pengalaman unik bahwasanya di Sumba kami harus saling tempel hidung untuk memberi salam yang diterapkan seterusnya sampai akhir acara. Lama kelamaan kami sadar bahwa kami pesek karena sudah terbiasa ‘salam sumba’ hahaha.

23 Desember hari pertama live-in, pengalaman pertama bagiku. Kami dibagi per kelompok yang live-in di stasi-stasi. Kelompokku live in di pusat paroki, sedangkan 5 kelompok lain di stasi dan kalian harus tahu bahwa di Sumba, jalan semuanya melintasi bukit. Sampai di ‘rumah kedua’ aku bersama Rm. Sil berkenalan terlebih dahulu dengan keluarga Bapak dan Ibu Hendra (Fi : Orang sumba memanggil nama dengan nama anak pertama/sulung keluarga. Hendra adalah anak sulung). Ketua lingkungan hadir pula di rumah bersama tokoh umat lain. Berkenalan dengan adat Orang Sumba karena kami peserta harus tahu apa yang boleh dan tidak boleh disini. Pemandangan setiap rumah adalah sama, yaitu di depan rumah ada batu besar yang adalah kuburan keluarga lalu kandang ternak berisi babi, ayam, dan ternak lain termasuk anjing dan atap rumah menjulang tinggi sebagai ‘lumbung’ makanan. Setelah menjadi pendengar akupun bercerita pula bagaimana adanya Palembang ‘rumah pertama’. Kami diterima baik.

Hari kedua tepat tengah malam kami merayakan ulang tahun ibu Hendra ke-26, lalu lanjut tidur. Pagi diawali persiapan malam natal di paroki, keluargaku mendapat tugas pembawa Kanak-kanak Yesus. Sesudah latihan kami sedikit berdinamika dengan Sekami Palla bernyanyi dan berkenalan. Lalu dirumah lanjut kegiatan live in bersama keluarga, membantu pekerjaan rumah. Saya membantu proses pembuatan kue, tepatnya sih mengacau. Namun tetap sukacita. Malam Natal kami sekeluarga Bpk Ibu Hendra, Hendra si Sulung dan Rehan si bungsu super aktif dan saya memakai baju adat Sumba. Ikat kepala kapouta, kain Sumba di pinggang yang diselipkan parang. Kehormatan bagiku membawa kanak-kanak Yesus, lengkap baju adat.  ‘Holy night’ berlangsung khidmat dan senyap. Seusai misa saling mengucapkan selamat Natal dengan salam Sumba dan berfoto ria, terutama aku haha… Natal tiba, kami misa lagi dan menuju acara puncak Natal Ceria. Anak-anak sungguh semangat, 2D2K dan CHC ada didalam mereka. Kurang lebih 100 anak berdinamika, acara kami susun sedemikian rupa sehingga sukacita dan diakhiri dengan drama panggung boneka dari kami. Tak mau kalah anak Sekami Palla juga berdrama menyangkut makna Natal. Sukacita semua anak menandakan kami berhasil mewartakan ‘Sukacita Injil’. Kunjungan ke rumah-rumah memaknai Natal. Cerita seorang ibu tua menyayat hati, bagaimana ia dapat menjadi katolik dari Marapu (Fi : Marapu adalah Agama asli orang sumba). Hari terakhir live-in Rm. Sil genap berusia 32 tahun. Tak terhitung berapa kali kami berpamitan. Dengan Sekami Palla, keluarga besar live-in dan Bapak ibu Hendra.  Diakhiri semua kegiatan live-in dengan makan siang bersama di rumah keduaku, syukur atas ultah ibu Hendra dan Rm. Sil. Menuju paroki kami peserta berkumpul kembali dengan meneriakkan pakolaka dan menari tobelo dengan sukacita. Berakhir sudah live-in kembali ke acara besar.

Kasih Yesus sungguh nyata melalui tangan kasih teman-teman Denpasar, Paroki Matius Palla dan semua yang terlibat dalam T-SOM. Mereka tidak mengenal kami namun sukarela ‘mengadakan’ semua bagi kami. 2D2K dan CHC mereka telah lakukan bagi kami, begitulah juga harapan kami kepada teman-teman semua kami hendak mewartakan Injil, yaitu Yesus kristus sendiri. Semua kegiatan acara dan dengan semua orang aku menemukan sukacita dalam kesederhanaan. Aku mewartakan kabar gembira dengan perbuatan-perbuatanku yang membantu terutama bagi teman-teman Palla dan peserta T-SOM. Natal ceria satu bentuk konkretnya. Sungguh banyak rahmat yang kutrima mulai dari aku yang bisa memperhatikan kebutuhan sesama (seperti mandi seperempat ember karena kesulitan air), kesabaran (mendidik anak-anak kecil), mandiri dan bisa menunjukkan kasih kepada semua orang. Janjiku membagikan pengalaman yang telah kurefleksikan ini kepada teman keuskupan dan parokiku, aku ingin mengisahkan dalam khotbah/homili pada ekaristi, sehingga umat tahu bagaimana sukacita Natal terasa dalam kesederhanaan di tanah Marapu, Sumba. Aku juga hendak menghidupi komitmen misioner di Jamnas Sekami 2018 dalam kehidupan sehari-hari.

+ Bapa berbelas kasih, tak henti kami bersyukur atas kasih-Mu kepada kami melalui teman-teman yang kami temui dan terlibat agar T-SOM berjalan lancar. Kiranya ya Bapa rahmat-Mu berlimpah atas mereka dan sukacita selalu mereka rasakan. Berkati juga perutusan kami agar kasih dan pengalaman yang telah kami terima terasa pula di hati semua orang yang kami jumpa, terlebih teman-teman misioner lain. Berkati kami Bapa yang bermisi bagi kemuliaan-Mu kini dan sepanjang masa . Amin. +

Aku Pelayan-Mu. Utuslah aku. Siapkah kamu bersama-sama dengan-ku?


Michelline

KA. Makassar

“Bersuka citalah layaknya Anak Misioner”

Nama saya Michelline, jadi refleksi saya itu sebagai berikut :

Kami berangkat dari bandara Makassar, itu sekitar jam 3 mungkin ya, tiba di Bali itu pukul 20.30, kami tiba yang paling terakhir karena pesawat kami delay. Di Bali aku banyak kenalan dari keuskupan lain seperti Palembang, Sintang, Bandung, dan banyak lagi. Tapi kami sedih karena ngak ikut misa. Besok paginya kami misa, sarapan, lalu siap-siap ke bandara. Setibanya kami di Sumba di bandara Tambolaka, yang kami rasakan pertama itu panas yang luar biasa. Lalu kami dijemput dengan bus, kami diantar ke rumah bupati. Di sana kami berjumpa dengan Bapak Bupati dan istrinya. Kami makan siang di sana. Setelah selesai makan siang kami langsung lanjut ke Paroki Matius Palla. Perjalanan kami cukup jauh sehingga kami semua tertidur di dalam. Yang mengesankan itu pada saat kami tiba di paroki, kami itu disambut oleh tarian khas Sumba yang diikuti dengan teriakan payawau dan pakallaka. Kami semua terkejut dengan itu karena first timenya liat, tapi tariannya itu bagus dan sangat khasnya memang ya. Di Sumba kami kelompok V bertemu dengan pendamping rohani kami yaitu Romo Tiburtius. Pada malam hari kami tidur di sekolah. Besoknya kami misa bersama umat Paroki Palla. Saat misa kami diperkenalkan kepada umat, ada gong pembuka. Saat diparoki kami diberikan briefing sambil duduk bersama kelompok. Lalu kami makan siang, lalu sebelum berangkat kami ada nyanyi-nyanyi bersama seperti kami yang punya itu paroki dah hehehe. Lalu mobil kami datang, pertama kami ke susteran buat ada sambutan, kami disambut lagi dengan tarian dan diberi pita oleh anak-anak Sekami. Setibanya di tempat live-in, kami diberi teh lalu berbincang-bincang dikit. Sore harinya itu aku nagis loh, tapi ditenangkan sama keluarga. Setelah aku tenang, aku diajak untuk bermain wifi. Pada malam hari di rumah kan ada romo Gery. Disitu papa aku didoakan karena besok papaku ulang tahun jadi aku senang banget. Besok pagi kami pergi ke gereja untuk bermain dan bernyanyi bersama anak-anak Sekami. Kami juga membantu menghias meja altar. Lalu kami pulang ke keluarga masing-masing. Malam jam 07.00, kami misa malam Natal, pembukaannya itu diiringi oleh tarian. Setelah selesai misa kami foto-foto dulu lalu pulang ke rumah. Besoknya kami Natal, jadi misa dulu, lalu pergi ke susteran untuk merayakan Natal bersama anak-anak Sekami. Kami ada tunjukin drama boneka, dan kami juga lihat drama yang disiapkan oleh  anak-anak Sekami yang berjudul “adakah natal dirumah ini?” dramanya itu bagus banget, pesan moralnya baik. Sore harinya kami janji ngumpul di rumahnya Romo Tibur. Setelah kami ngumpul kami pergi ke rumah Bapak Rio, terus kami ada ide untuk pergi ke stasi-stasi. Stasi-stasi yang kami kunjungi itu Lingo Lango, Puka Wona, dan Wee Pewa. Saat pulang kami singgah di rumah Romo Tibur lagi, lalu kami makan malam di samping rumahnya yaitu rumah panggung. Di sana ada seorang nenek yang namanya Margareta, ia menceritakan tentang bagaimana ia bisa masuk ke agama Katolik. Lalu kami pulang ke keluarga. Besoknya itu hari dimana kami berpamitan kepada orang  tua. Pada saat dirumah kami berbicara-bicara dulu lalu kami satu keluarga nangis. Lalu kami diantar ke susteran di sana kami ada diajarin beberapa tarian Sumba, lalu kami pergi ke pastoran sudah. Setibanya di pastoran kami berjumpa dengan teman-teman kami lagi.

            Ini adalah first timenya aku tidak Natal bersama keluarga, tapi kami semua merasakan sukacita yang banyak, jadi ini adalah perjalanan yang luar biasa.


Alonso C. Halim

KA. Makassar

Bahagia dalam Kekurangan

Hai teman-teman semuanya…

Ada yang tau arti judul diatas? Judul diatas saya buat karena memiliki arti yang sangat penting dalam diri saya. Judul tersebut berkaitan dengan kegiatan kami di Sumba, yaitu memiliki arti keluarga-keluarga di Sumba ini. Mereka hanya tinggal di sebuah rumah biasa atau ada juga rumah panggung. Rumah-rumah itu hanya dilapisi dengan gedhek (anyaman bambu) dan bambu biasa, yang dibuat sedemikian rupa, sehingga menjadi rumah yang sangat sederhana. Tutup rumahnya itu hanya memakai stainless stell. Rumah panggung di Sumba ini biasanya ada kandang hewan dibawahnya. Namun, dalam kesederhanaan ini, terdapat kebahagian yang memancar dari wajah mereka. Apalagi ketika dikunjungi oleh teman-teman sekami dari 7 keuskupan. Mereka sangat bahagia ketika dikunjungi oleh kami. Kami juga ketika sampai di stasi, kami disambut dengan hangat oleh umat stasi di sana. Kami disambut dengan tarian khas Sumba, dan berkenalan dengan umat stasi di sana, yaitu Stasi Puu Kawona. Lalu kami berbincang-bincang dan bercakap-cakap dengan umat Stasi Puu Kawona tersebut. Umat stasi tersebut sangatlah ramah dan sangat baik. Setelah bercakap-cakap, kami diajak pergi kerumah masing-masing dan mengenal keluarga masing-masing.

Dari situlah kami belajar lingkungan Sumba ini. Kami belajar mengenai bagaimana cara hidup orang di sini, lingkungan di sini, dll. Rumah di sini ada yang bertingkat tiga atau rumah panggung itu, bisa melambangkan hal-hal yang berkaitan dengan iman. Yaitu tingkat paling atas atau tingkat ketiga itu melambangkan Tuhan Allah. Tingkat kedua melambangkan perantara Tuhan, yaitu orang tua kita, yang biasa juga disebut “wakil Tuhan” tingkat pertama melambangkan manusia, yang bisa diartikan sebagai: Tuhan menciptakan manusia, melalui wakil-Nya, yaitu orang tua kita.

Fasilitas-fasilitas di rumah keluarga juga mungkin tidak terlalu bagus, juga termasuk air. Air di rumah keluarga, mereka mendapat air lumayan jauh. Itu bisa memperingatkan kita yang sering membuang-buang air bersih, sebaiknya kebiasaan itu harus dihentikan mulai sekarang. Karena coba bayangkan ketika orang tua kita mengambil air di sumur yang sangat jauh dari rumah, lalu kita hanya membuang-buang air bersih, betapa capeknya orang tua kita mendapat air itu, tetapi kita hanya membuangnya. Air itu bukan hanya untuk mereka saja tetapi juga untuk kita. Untuk kita mandi, minum, mencuci, dll. Walaupun ada yang mengunakan listrik, tetapi harusnya kita menghargai juga kerja keras orang tua kita. Orang tua kita pasti membayar air itu. Kebutuhan pokok juga bisa mempengaruhi kehidupan di sini. Kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, dan yang lainya juga agak kurang di Sumba. Mereka hanya memakan makanan apa adanya, walaupun itu hanya nasi, walaupun begitu, mereka tidak mengeluh terhadap situasi, mereka ini. Kebahagian terus memancar di wajah mereka. Kita harus mengikuti mereka, hidupnya tidak mewah, tetapi tetap bahagia. Mungkin hanya ini saja teman-teman, kalau ada kata-kata yang menyinggung saya mohon maaf. Sekian dan terima kasih.

Salam Misioner!


KELOMPOK VI

Sutaranol Lamera

K. Sintang

“Hangatnya kasih dalam kesederhanaan dan keterbatasan”

Ketika hari keberangkatan saya menuju Sumba yaitu pada tanggal 19 Desember 2018. Sejenak dalam hati kecil saya sangat sedih karena saya harus natalan tidak bersama kedua orang tua dan jauh dari keluarga namun dalam kesedihan itu ada suatu hal yang membuat saya bangga karena saya berangkat ke Sumba diutus sebagai misionaris yang siap mewartakan Injil.

            Sesampainya rombongan kami di Bali, kami disambut dengan begitu  hangat oleh para Pembina dan anak-anak Sekami Denpasar disitu pula kami diajarkan sikap-sikap dan ciri seseorang sebagai misionaris. Ketika saya melihat bahwa seorang misionaris itu harus mampu berpisah dengan orang lain sekalipun itu orang yang sangat kita sayangi dan pedoman itu yang selalu saya ingat agar saya mampu menjadi misionaris yang tangguh.

            Pada saat hari keberangkatan kami menuju tempat live-in dan bermisi, yaitu di tanah Sumba, yang ada dalam pikiran saya bahwa Sumba itu adalah tempat yang indah dan maju namun semua perkiraan itu salah total dan tak semanis realita dan kenyataan, tapi hal itulah yang menjadi tantangan dalam bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Sesampainya kami di Paroki Matius Palla. Kami beserta rombongan disambut dengan sangat luar biasa yaitu tarian khas adat Sumba. Sedikit demi sedikit saya mulai bisa beradaptasi dengan mudah bersama masyarakat Sumba karena mereka juga sangat ramah sekali.

            Kemudian sebuah kisah, pengalaman, dan cerita yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun yaitu keberangkatan menuju stasi dan saya harus melupakan semua teman-teman T-SOM yang lain dan harus menyatu dalam kehidupan umat dan bertahan dalam kondisi yang lumayan sulit dengan berbagai kondisi yang bisa dikatakan sangat jauh berbeda dengan tempat tinggal saya, mulai dari keadaan alam, kebudayaan, serta gaya hidup yang penuh keterbatasan. Di balik segala keterbatasan itu mereka melayani lkami dengan sangat baik.

            Banyak kesimpulan yang saya ambil dari live-in di stasi ini, ialah kemandirian, tanggung jawab, menghargai waktu dan berani meninggalkan segala sesuatu yang kita cintai dan harus kita korbankan, dan di Sumba ini saya banyak belajar tentang hal-hal baru dan pengalaman yang begitu indah. Dapat dikatakan Sumba ini  merupakan surga terpencil yang menyimpan harta berupa budaya dan hal lain yang menakjubkan.

Semangat 2D2K dan Children Helping Children yang saya rasakan dalam stasi khususnya stasi Weepewa, saya rasa sangat menarik sekali, buktinya selama kami ada di stasi seluruh anak-anak Sekami di sana sangat antusias dan bersemangat sekali, kemudian saya dan teman-teman banyak sekali mengajarkan hal-hal baru mulai dari nyanyian, tepuk, dan permainan baru. Kemudian mereka juga banyak mengajarkan hal-hal baru kepada kami.

Semangat misionaris biasanya ditemukan dalam kegiatan di lingkungan, kemudian sesaat sebelum mulai misa. Caraku mewartakan kabar gembira dalam hatiku adalah lewat doa.

Rahmat yang diberikan Tuhan dalam pengalaman itu adalah rahmat kekuatan dalam menghadapi kondisi dan rahmat kesehatan. Ungkapanku ialah berterima kasih dalam hal itu.

Niatku setelah selesai kegiatan T-SOM ini adalah ingin lebih meningkatkan semangat pewartaan. Janjiku adalah aku berjanji akan selalu siap diutus.

Allah Bapa Yang Maha Baik dan Pemurah, terimakasih atas segala perlindungan-Mu serta Roh Kudus-Mu yang Kau limpahkan selalu dalam perjalananku ini sehingga aku dapat sampai ke stasi dengan selamat dan terima kasih juga atas tangan kasih-Mu karena Engkau telah mempertemukan aku dengan mama papa yang sangat baik di stasi. Semoga Engkau membalas kebaikan mereka semua. Semoga juga pelayananku ini dapat berguna bagi mereka semua dan semoga misi ini tidak berhenti disini dan dapat selalu diteruskan dan bermanfaat bagi semua umat. Demi Kristus Tuhan dan Pengantara kami. Amin

 Sebuah kasih dapat mengubah kesederhanaan dan keterbatasan menjadi kegembiraan.


 Vincencia T.N

KA. Palembang

Alami, Nikmati, Syukuri

Sumba, mendengarnya, aku sumringah. Dalam pikirku berputar hamparan pantai dengan putih pasir dan biru laut. Anak-anak yang berkejaran kian kemari. Orang-orang dengan rambut ikal, kulit hitam gigi putih menyungging bersama seulas senyum menawan.

            Namun, Sumba lebih dari itu, kawan. Mari kuceritakan. Kukumpulkan nyali dan ambisi melalui perjalanan panjang yang rasanya tanpa henti. Menginjakkan kaki di tanah Sumba, aku bangga berhasil melampaui orang tua. Adat dan kultur yang begitu dijunjung, penyambutan yang membuatku tak berhenti menyanjung. Luar biasa.

            Aku kebagian live-in di stasi St. Yakobus Rasul Weepewa. Ketika tiba di sana, mereka kembali menyambut dengan Tari Woleka dan Teriakan Payewau, lengkap dengan pukul-pukulan gong dan alat musik lain. Perkenalan dengan umat, lalu pembagian tempat penginapan. Aku kaget ternyata aku ditempatkan sendiri, sedang yang lain berdua. Namun bukan masalah besar.

            Stasi ini adalah stasi terbesar di paroki St. Matius Palla dengan kurang lebih 1.200 an jumlah jiwa. Satu-satunya yang memiliki tabernakel,  dengan ukuran gereja yang besar. Terdiri dari 6 lingkungan dan 12 basis, salah satunya, lingkungan Santa Matildis.

            Disinilah aku tinggal. Disambut hangat. Memulai perkenalan, kebetulan malam itu umat lingkungan sedang berkumpul. Menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran saya dan banyak informasi mengenai lingkungan.

            Ada seorang mama yang mengeluhkan keaktifan segelintir umat, dengan nada tinggi, seperti marah-marah. Aku kesal. Lha saya disini untuk belajar, bukan untuk memberi pemahaman. Akhirnya, saya cuma bilang, “Saya kira semua daerah mengalami hal sama, baiklah, akan mendiskusikan ini dengan yang lain”. Lucu di ingat. Terbesit juga rasa gentar, namun biarlah berlalu.

            Nama ‘Matildis’ diambil dari nama seorang suster yang berasal dari daerah itu namun sudah meninggal. Namanya diabadikan sebagai pelindung, kata bapa supaya kelak ada yang terpanggil menjadi biarawan-biarawati. Lingkungan yang termasuk lingkungan teladan, memang tidak bisa dipungkiri . Mereka benar-benar memberi wadah bagi anak-anak biar mengadakan pertemuan .

            Banyak pengalaman yang saya alami. Belajar menari. Natal bersama anak-anak dan mendapat ucapan selamat ulang tahun dari mereka. Manis sekali jalan-jalan keliling kampung, menanjak, melelahkan. Disuguhi beragam info dan sayur aduk. Dikawal anak-anak dan warga lingkungan. Diberi kain sumba sebagai hadiah ulang tahun. Berbincang dengan para bapa yang bertukar pikiran,  wawasan yang begitu luas.

            Lalu saya menyadari, pengalaman ini lebih sekadar persoalan Sekami. Ini tentang hidup. Tentang bagaimana saya merasakan hangat kasih Tuhan melalui keluarga, tentang kesederhanaan dan kuatnya usaha bertahan hidup. Tentang tawa gembira tanpa paksa. Semangat mereka, teriakan mereka, tawa mereka, semua buat saya gentar. Kadang saya enggan mengikuti pertemuan di tegah kemampuan saya. Kontras sekali.

            Semangat 2D2K dan motto Children Helping children bagai desir dalam jantung dan setiap darah yang mengalir dalam tubuhku. Terpacu semakin cepat menanggapi energi semangat yang kurasai ketika berada diantara mereka. Mengajari lagu baru, mengajak menari dan bernyanyi, menghibur yang sedih .hanya itu yang dapat saya lakukan. Sekiranya bermakna, kuharap begitu.

            Kadangkala dalam perjalanan bermisi ini, saya teringat suatu hal yang membuat sedih, merasa letih dan menyerah, takut dan gentar merajai hati. Namun saya yakin dan percaya Tuhan menyertai langkah dan gerak saya.

            Pada akhirnya perpisahan yang tak terelakkan membekas haru-biru. Aku merasai kasih itu, sekali lagi lewat pertumpahan air mata. Bapa, mama, kakak adik. Saya bertekad melaksanakan ini dalam setiap kejadian dalam hidup ; Alami, Nikmati, Syukuri. Karena sejatinya, hidup oleh dan untuk Tuhan.


Tesalonika Putri

Keuskupan Bandung

Misioner Hemat Air

Salam Misioner! Saya Tesalonika Putri dari keuskupan Bandung ingin membagikan pengalaman misioner saya kepada teman-teman semua. Mulai tanggal 21 – 26 Desember 2018. Dari pemberangkatan, persiapan-persiapan dan live-in. Saat pemberangkatan menuju ke Bali untuk persiapan, pembekalan dan lainnya, di bandara kami menunggu untuk check-in. Lalu saat sedang menunggu, kami dimarahi oleh Pembina kami karena kami membiarkan Pembina kami mengangkat barang-barang yang untuk dimasukkan ke bagasi dan kami tidak membantu. Kami dibilang tidak peka, dari situ, saya menyadari bahwa untuk peka terhadap sesuatu hal sangat penting.

Lalu saat pembekalan sebelum live-in kami belajar bagaimana ciri khas orang Sumba, yaitu salam Sumba yang menggunakan hidung. Saya awalnya tidak terbiasa tapi lama lama menjadi terbiasa. Saya live-in di rumah Papa Yosef dan Mama Agnes dengan Sr. Tilde, kebetulan salah satu anak dari papa mama adalah pembimbing anak-anak Sekami namanya Ka Vide. Kami saling bertukar pengalaman saat mengajar anak-anak, bagaimana kondisi dan perbedaan anak-anak di Weepewa dengan yang ada di paroki tempat tinggal kami. Di tempat saya tinggal juga ternyata kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Untuk air bersih mereka harus membeli air tersebut. Dari kondisi tersebut saya mencoba untuk berhemat air, yang biasanya saya bisa meghabiskan banyak air, sekarang saya ditantang untuk hanya satu ember saja. Ternyata selama ini saya yang sangat boros air, seperti membuang-buang air untuk orang lain yang membutuhkan. Saya juga ingin sesampainya nanti di Bandung kebiasaan saya untuk menghemat air dapat terus dilakukan.

Di rumah papa mama yang saya tinggali juga, pada malam hari tanggal 23 Desember 2018, anak-anak dan cucu-cucunya datang dari luar kota. Katanya tahun ini mereka baru berkumpul bersama semua. Kehangatan sangat terasa dalam keluarga papa mama yang sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Kami semua mengobrol dan bercanda tawa bersama saat sedang berkumpul. Saya teringat orangtua dan kaka saya di rumah. Terkadang saat ada waktu luang kami sering asik sendiri, bermain handpone dan sebagainya.  Sampai di rumah nanti, saya ingin lebih meluangkan waktu untuk keluarga. Banyak sekali yang saya dapat meskipun hanya beberapa hari bersama papa, mama, kaka, dan adik-adik lainnya. Saya hanya dapat berterimakasih dan memberikan beberapa lagu untuk menghibur mereka. Ini sungguh pengalaman yang sangat berkesan bagi saya.

Satu respons untuk “Refleksi TSOM#1

  1. Ping-balik: Refleksi – T-SoM

Tinggalkan komentar